![]() |
[Image Source] |
Satu dari
sekian banyak alasan bagiku untuk terus melangkah maju adalah tidak ada yang
perlu diungkit dan dikenang lagi di belakang. Begini, bila ada kesalahan
atau sebut saja kegagalan yang terjadi pada hari-hari sebelum ini, apakah kamu
akan terus mengingatnya? Mungkin benar citra itu akan selalu hadir dalam keseharianmu.
Tapi apa itu perlu dibuai? Perlu diperhatikan hingga
kamu akan terus-menerus merasa salah dan gagal? Aku dengan tegas menolak.
Hal lainnya
yang menjadi alasanku untuk terus melihat ke depan adalah wanita yang ada di
hadapanku sekarang. Aku ingat pertama kali menatap wajahnya di lift yang
mengangkatku ke lantai tempat kantor baruku berada. Lift yang mempertunjukkan
senyumnya yang manis dan lugu. Lift yang pada saat itu hanya ada kami berdua di
dalamnya. Lift yang tombol di tepi pintunya menunjukkan satu nomor yang menyala
sama. Itu berarti kantor kami berada di lantai yang sama. Lantai 10.
Aku duduk
di depannya, di food court lantai dasar gedung tempat kami berdua bekerja, menunggu
makan siang kami datang. Aku sedang mengomel tentang kerjaan yang menumpuk.
Dia hanya diam, memperhatikanku dengan saksama seolah aku sedang berkhotbah di
depan jemaah majelis taklim.
“Aku tahu aku seharusnya mengantisipasi ini. Kau ingat ketika kita berada di lift yang sama dua minggu lalu? Saat itu aku berpikir pekerjaanku yang sekarang lebih santai, atau paling tidak, aku bisa mengobrol sejenak dengan rekan kerjaku. Itulah alasan aku ingin pindah kerja. Tetapi sama saja. Ya Tuhan, aku kan baru kerja di sini sebulan.”
“Aku tahu aku seharusnya mengantisipasi ini. Kau ingat ketika kita berada di lift yang sama dua minggu lalu? Saat itu aku berpikir pekerjaanku yang sekarang lebih santai, atau paling tidak, aku bisa mengobrol sejenak dengan rekan kerjaku. Itulah alasan aku ingin pindah kerja. Tetapi sama saja. Ya Tuhan, aku kan baru kerja di sini sebulan.”
“Kamu tahu aku baru mengenalmu. Tapi aku suka ketika kamu bicara panjang lebar
tentang apa yang kamu rasakan. Aku hanya duduk diam dan mendengarkan ocehanmu.”
Dia tersenyum. Senyum yang mengalihkanku saat pertama kali kulihat di lift.
Senyum yang membuatku melupakan Tiffany sejenak.
Aku sedikit
berbohong padanya tentang alasanku melamar pekerjaan di kantorku yang sekarang.
Benar bahwa aku ingin lebih santai bekerja sehingga aku melamar pekerjaan di
sini. Benar bahwa aku ingin mencoba pekerjaan baru yang berbeda dari
pekerjaanku sebelumnya. Tapi aku tidak—setidaknya belum—mengatakan bahwa
sesungguhnya yang membuatku sangat ingin pindah dari kantor lamaku adalah
Tiffany.
Semua orang
tahu bahwa aku dan Tiffany berpacaran. Kami bekerja di perusahaan yang sama,
walaupun beda divisi. Kami juga kuliah di universitas yang sama dan lulus di
tahun yang sama. Kukira banyak kesamaan membuat semuanya lebih mudah.
Perkiraanku salah.
5 tahun. Waktu yang cukup lama dalam menjalani suatu hubungan. Tiga bulan lalu, aku
dan Tiffany menghadiri resepsi pernikahan teman kuliah kami. Kedua mempelai
menanyakan kapan kami menyusul. Teman-teman lain yang hadir pun berkelakar
lebih baik kawin dulu daripada nikah. Kami berdua hanya merespons dengan
senyuman.
Semuanya
masih sama hingga bulan lalu. Bagai godam yang menghantam dada, wanita yang
menjadi pendamping skripsiku—bahkan mereka menyebutnya pembimbing amatirku—menikah
dengan pria lain tanpa menjelaskan apa pun padaku. Dan godam itu terasa
semakin menyesakkan ketika aku tahu bahwa wanita yang kuangan-angan menjadi ibu
dari anak-anakku itu bersanding di pelaminan bersama sahabatku sendiri, Gilang.
Simak kelanjutan ceritanya di embertumpah oleh Bimo Rafandha (@bimorafandha).
***
Simak kelanjutan ceritanya di embertumpah oleh Bimo Rafandha (@bimorafandha).
Sukses kak! #TimMoveOn
ReplyDelete