Saturday, May 30, 2015

Review Cap - 2014

Ah, kangen rasanya menulis di blog pribadi ini. Seharusnya setiap apa yang kulakukan dan kualami kutulis semua di sini. Terakhir aku menulis pada November 2013! Dua-ribu-tiga-belas! Ya ampun, sudah banyak sekali kejadian dan hal-hal yang kualami selama dua tahun terakhir. Dari pekerjaan pertamaku hingga kelulusanku.

***

Aku mulai saja dengan momentum awal tahun: bekerja paruh waktu di Penerbit Nourabooks sejak pertengahan Februari—apa Januari ya?—hingga Mei. Ketika berkutat dengan kuliah sembari update status penerbit tersebut yang sudah dijadwalkan, aku merasa aku punya banyak hal yang harus dilakukan. Ketika aku berpikir aku berguna paling tidak untuk penerbit itu dan tanggung jawab untuk menyelesaikan kuliahku.

Update status? Ya, aku bekerja paruh waktu sebagai publisis di sana. Pekerjaan yang sepertinya tidak mungkin ada di dunia ini tetapi ternyata ada dan diperhitungkan. Tidak seperti yang dipikirkan banyak orang, tidak sembarang update status untuk penerbit tersebut, tentu saja. Aku harus mengerti seluk beluk apa yang harus disampaikan melalui media sosial dengan bumbu promo untuk menarik massa akan produk itu, yang tentu saja buku.


Aku hanya bertahan satu masa kontrak—sekitar tiga bulan—di sana karena aku harus fokus untuk menyelesaikan Tugas Akhir-ku. Walaupun hanya ngantor dua kali seminggu—itu pun terserah mau hari apa—pada waktu itu aku merasa kelelahan setelah sampai rumah. Bayangkan saja aku harus berangkat jam enam pagi dan biasa sampai rumah setelah jam delapan malam.

***

Keluar dari sana, seperti yang sudah kubilang, aku fokus menyelesaikan kuliah, tepatnya Juli. Kalau dengan nge-print kertas bertumpuk-tumpuk untuk revisi dan belajar otodidak membuat website bisa dibilang halangan, aku bisa melaluinya dengan, yah, lumayan. Intinya lulus deh. Dan pada Desember, aku wisuda. Begitulah.

Bersama Dayang-Dayang KKP. Teh Rini (kiri) dan Tiffany.

***

Ini yang kutunggu-tunggu ingin kuceritakan. Tentang karier yang akan-kubawa-entah-ke-mana. Selama penantian pengumuman kelulusan September hingga wisuda Desember, aku tak tinggal diam. Yah, secara teknis aku diam sih, soalnya kerjaanku hanya membaca. Tapi mungkin aku membuahkan hasil dari pohon kertas lebat yang kutimbun sejak awal kuliah.

Karena semakin dalam aku mencintai buku, aku ingin tidak hanya membaca. Aku ingin lebih dari sekadar membeli dan menyobek segel plastik buku. Aku mencoba menyunting beberapa cerpen teman yang mereka pos di blog. Awalnya, aku yang meminta mereka.

Bagaimana kalau cerpenmu aku edit? Masih banyak yang salah nih soal tata bahasa dan gaya penceritaan. Gratis kok.

Tentu saja disambut baik oleh mereka dan, tragisnya, mereka menyukai hasil suntinganku. Tragisnya sesi dua, aku menikmatinya. Berlama-lama di depan layar monitor dengan deretan huruf-huruf. Sepertinya aku mendapatkan nyawa. Hingga suatu hari, salah satu penerbit mencari seorang editor pemula untuk menyunting naskah terjemahan yang akan mereka terbitkan.


Itu membuatku seperti terbang tinggi ke angkasa karena tidak menyangka. Aku segera melakukan hal-hal yang harus kulakukan. Selama Agustus aku berkutat dengan naskah distopia tersebut. Hingga pada awal September aku dikabari bahwa novel suntingan pertamaku terbit. Aku kudu piye? Senang, tentu saja! Namaku tercetak di salah satu buku yang ada di toko buku; yang dibaca orang-orang. Atas pengalaman berhargaku ini, aku sangat berterima kasih kepada Mba Muthia Esfand. Atas bimbingannya, atas kesempatan menyunting pertama, atas kesempatan bekerja (lebih ke main-main saja sih) in-house sebulan di kantornya.

Ada namaku?

Entah aku yang terlalu lancang atau Mba Muthia yang terlalu baik, aku keterusan meminta proyek kerjaan kepadanya entah itu menyunting atau memeriksa aksara naskah-naskah terjemahan. Hingga suatu saat aku berkicau tentang pekerjaan masa depanku. Yah, kenapa tidak? Hehehe.


***

Selain karier di dunia perbukuan, aku bergabung dengan komunitas yang, menurutku, eksklusif dan populer. Yah, biar saja apa kata orang tentang komunitas ini, aku tetap akan menyebutnya begitu. Blogger Buku Indonesia, namanya. Satu hal yang harus kaupenuhi syarat menjadi member adalah memiliki blog tentang buku. Aku? Tentu saja punya!

Aku bergabung sejak Mei dan aku terus mencoba berkontribusi pada komunitas tersebut hingga suatu hari Bang Epi, koordinator umum BBI, mengangkatku menjadi pengurus di bagian Divisi Humas. Tanpa ajang pencarian bakat. Tanpa pemilihan abang none. Tanpa angin dan badai menyerbu. Yah, semua sudah kuceritakan di sini.

Acara pada Desember adalah yang paling berkesan. Mungkin juga karena pengalaman pertama, aku berpusing-ria di acara BBI @ IRF 2014 karena aku ditunjuk sebagai koordinator acara. Di samping memikirkan PNFI, komunitas tersayangku, aku juga harus memikirkan BBI, komunitas tersayangku nomor dua, karena keduanya berada pada event yang sama di hari dan waktu yang sama.


***

Bisa disimpulkan, 2014 adalah tahun krusial bagiku. Dan semuanya berhubungan dengan buku. Lalu, aku melakukan apa di 2015?

Tuesday, May 19, 2015

Menulis Berantai #TimMoveOn Bagian 1 - Lifted Up

[Image Source]
Satu dari sekian banyak alasan bagiku untuk terus melangkah maju adalah tidak ada yang perlu diungkit dan dikenang lagi di belakang. Begini, bila ada kesalahan atau sebut saja kegagalan yang terjadi pada hari-hari sebelum ini, apakah kamu akan terus mengingatnya? Mungkin benar citra itu akan selalu hadir dalam keseharianmu. Tapi apa itu perlu dibuai? Perlu diperhatikan hingga kamu akan terus-menerus merasa salah dan gagal? Aku dengan tegas menolak.

Hal lainnya yang menjadi alasanku untuk terus melihat ke depan adalah wanita yang ada di hadapanku sekarang. Aku ingat pertama kali menatap wajahnya di lift yang mengangkatku ke lantai tempat kantor baruku berada. Lift yang mempertunjukkan senyumnya yang manis dan lugu. Lift yang pada saat itu hanya ada kami berdua di dalamnya. Lift yang tombol di tepi pintunya menunjukkan satu nomor yang menyala sama. Itu berarti kantor kami berada di lantai yang sama. Lantai 10.

Aku duduk di depannya, di food court lantai dasar gedung tempat kami berdua bekerja, menunggu makan siang kami datang. Aku sedang mengomel tentang kerjaan yang menumpuk. Dia hanya diam, memperhatikanku dengan saksama seolah aku sedang berkhotbah di depan jemaah majelis taklim.

“Aku tahu aku seharusnya mengantisipasi ini. Kau ingat ketika kita berada di lift yang sama dua minggu lalu? Saat itu aku berpikir pekerjaanku yang sekarang lebih santai, atau paling tidak, aku bisa mengobrol sejenak dengan rekan kerjaku. Itulah alasan aku ingin pindah kerja. Tetapi sama saja. Ya Tuhan, aku kan baru kerja di sini sebulan.”

“Kamu tahu aku baru mengenalmu. Tapi aku suka ketika kamu bicara panjang lebar tentang apa yang kamu rasakan. Aku hanya duduk diam dan mendengarkan ocehanmu.” Dia tersenyum. Senyum yang mengalihkanku saat pertama kali kulihat di lift. Senyum yang membuatku melupakan Tiffany sejenak.

Aku sedikit berbohong padanya tentang alasanku melamar pekerjaan di kantorku yang sekarang. Benar bahwa aku ingin lebih santai bekerja sehingga aku melamar pekerjaan di sini. Benar bahwa aku ingin mencoba pekerjaan baru yang berbeda dari pekerjaanku sebelumnya. Tapi aku tidak—setidaknya belum—mengatakan bahwa sesungguhnya yang membuatku sangat ingin pindah dari kantor lamaku adalah Tiffany.

Semua orang tahu bahwa aku dan Tiffany berpacaran. Kami bekerja di perusahaan yang sama, walaupun beda divisi. Kami juga kuliah di universitas yang sama dan lulus di tahun yang sama. Kukira banyak kesamaan membuat semuanya lebih mudah. Perkiraanku salah.

5 tahun. Waktu yang cukup lama dalam menjalani suatu hubungan. Tiga bulan lalu, aku dan Tiffany menghadiri resepsi pernikahan teman kuliah kami. Kedua mempelai menanyakan kapan kami menyusul. Teman-teman lain yang hadir pun berkelakar lebih baik kawin dulu daripada nikah. Kami berdua hanya merespons dengan senyuman.

Semuanya masih sama hingga bulan lalu. Bagai godam yang menghantam dada, wanita yang menjadi pendamping skripsiku—bahkan mereka menyebutnya pembimbing amatirku—menikah dengan pria lain tanpa menjelaskan apa pun padaku. Dan godam itu terasa semakin menyesakkan ketika aku tahu bahwa wanita yang kuangan-angan menjadi ibu dari anak-anakku itu bersanding di pelaminan bersama sahabatku sendiri, Gilang.

***

Simak kelanjutan ceritanya di embertumpah oleh Bimo Rafandha (@bimorafandha).

#TimMoveOn, I'm In


Begitu sulit aku mencoba menghidupkan kembali blog ini. Yah, sejak terlalu sibuk menulis ulasan dan segala hal tentang buku bersama Bibli, aku tidak lagi menulis di sini. Tapi kesempatan menjadi #TimMoveOn yang digagas Penerbit GagasMedia membuatku "terpaksa" menulis di sini.

Awalnya aku cuma iseng ikutan acara L.O.V.E Cycle Online Festival dari penerbit itu dalam rangka penerbitan serial novel terbaru mereka. Aku pilih #TimMoveOn dari enam tim yang diberikan karena, yah, dari dalam lubuk hati paling dalam aku masih belum bisa melupakan si dia. Si dia yang sudah pisah sekitar 2 tahun lalu itu masih saja terngiang di kepala. Dan aku tentu saja ingin move on.

Dan aku bertugas menulis berantai. Ini juga iseng. Aku tidak pernah sekalipun mengikuti lomba atau acara menulis, tapi, lagi-lagi, dari lubuk hati paling dalam aku sangat ingin menulis. Mungkin dengan cara ini, dengan cara dikejar deadline, aku bisa memulai menulis. Aku bahkan mengicaukan keanehan yang terjadi semalam ketika aku mulai menulis.




Kicauan di atas memang begitu adanya. Tidak ada yang dibuat-buat, sungguh. Dan ternyata menulis adalah satu hal yang menyenangkan. Kita bisa menuangkan segala yang ada dalam kepala; mengeluarkannya dengan indah dan berseni. Tunggu hasil tulisanku pada postingan berikutnya ya. Info selanjutnya tentang acara ini: L.O.V.E Cycle Online Festival.

#TimMoveOn, I'm in!