Monday, April 29, 2013

Interview Test?! Could I?! (Part 2)

Ngerasa jijik karena harus ada sambungan dari tulisan sebelumnya. Kayak sinetron Tukang Bubur Naik Haji aja. Hajinya gak tau kapan. Gak kelar-kelar. Aku pikir aku gak bisa menulis terlalu banyak. Tetapi nyatanya seperti ini: menggairahkan!

Hari kedua tiba. Inilah yang paling menentukan dari semua rangkaian tes interview yaitu tes wawancara. Sedikit kesialan besar kecil adalah peserta harus datang tepat jam 12.00 siang. Anda tahu dimana posisi matahari saat itu? Anda tahu bagaimana suhu pada waktu itu? Anda bisa menjawabnya.

***

Tak ada hasil memuaskan tanpa usaha keras

***

Kata-kata itu terus melekat pada diriku. Aku harus tetap datang. Tes wawancara dimulai dengan menunggu. Menunggu peserta lain datang. Menunggu instruktur memberi arahan. Untungnya tidak menunggu sambil berpanas-panasan.

Sedikit saja tentang rencana pelaksanaan tesnya. Terlihat tidak terkoordinir dan direncanakan dengan baik. Lihat saja bagaimana perubahan lokasi dan waktu pelaksanaan tes di bawah ini yang dibertahukan sehari sebelum tes wawancara ini. Untung saja pada saat pelaksanaan berjalan lancar.

Perubahan Jadwal Mendadak

Sesi pertama, kami diajak menuju tempat pembuatan semen di pabrik. Alat yang sangat besar. Para peserta dijelaskan tentang proses dari pengambilan bahan baku hingga menjadi bahan setengah jadi. Peserta mencatat semua yang diocehkan dijelaskan oleh instruktur. Anda tahu apa yang sangat mengganggu? Panas!

Catatan Proses Pembuatan Semen Menurut Apa yang Didengar

Setelah sekitar 45 menit berlalu, kami dibawa kembali ke ruangan ber-AC (akhirnya…) untuk melaksanakan ibadah dan mempersiapkan diri.

Rangkaian tes wawancara pun dimulai. Benar saja. Seperti tes wawancara dua tahun yang lalu, tidak terlalu berbeda. Untuk penjelasannya, baca ini deh: Shocking Thursday?!. Bedanya lebih menguntungkan. Pada tes tell the story (menceritakan kembali proses pembuatan semen), tidak disuruh menjelaskan hingga pengepakan, hanya sampai pada bahan setengah jadi.

Pada wawancara berkelompok, kami diberi satu kasus dan mencari jalan keluarnya. Kami mendapat kasus tentang bagaimana harus memilih awak kapal dan barang yang harus dibawa dalam satu sekoci. Dengan keberagaman awak kapal dan barang-barang, kami dituntut untuk memilih dengan bijaksana dan cepat. Sayangnya, kami terlalu lama berdebat sehingga tidak memenuhi prosedur yang diberikan instruktur. Semoga itu bukan suatu hambatan. Semoga ….

Rangkaian tes wawancara selesai sekitar jam 16.30. Cukup lama mengingat rangkaian tes yang melelahkan seperti ini.
***

Sangat berharap sesuatu yang sudah diusahakan dengan penuh pengorbanan itu bukan masalah kan? Masalahnya bagaimana cara kita berharap kepada Sang Pemberi Harapan dengan benar.

Wallahualam bish shawwab.

Tangerang, 29 April 2013
(Setelah semua usaha dan pengorbanan yang kulakukan)

Interview Test?! Could I?! (Part 1)

Walaupun banya waktu luang tugas menjelang Ujian Tengah Semester, aku menyempatkan menulis. Mungkin bagi sebagian orang yang sudah bekerja, hati meraka sedang berbunga-bunga karena akhir bulan seperti ini kerap kali ada orang gila uang nyasar dengan tidak sengaja ke rekening bank mereka.

Kali ini aku akan membahas tentang apa yang terjadi satu minggu yang lalu. Tepatnya ketika rangkaian tes kebohongan interview dimulai.

Rangkaian tes dimulai dengan tes kejiwaan psikologi. Aku pikir ini semacam tes kepribadian yang sangat intens. Ternyata itu terlalu jauh. Pada tes pertama, seluruh peserta diinstruksikan untuk mengerjakan soal penambahan berderet yang disebut tes Koran (Kreapelin/Pauli Test). Instruktur memjelaskan bahwa itu untuk mengukur ketelitian dan konsistensi seseorang dalam melaksanakan pekerjaan.

Ya … aku tahu tentang ketelitian, tapi tentang konsistensi, mungkin hal yang sulit. Dari hasil yang kukerjakan, sepintas terlihat grafik yang naik-turun. Untuk konteks konsistensi, segala sesuatunya harus sama, stagnan.

Masih dalam tes psikologi, tes selanjutnya lebih membohongi mengejutkan.  Kita hanya disuruh menggambar. Ya! Menggambar! Aku tidak tahu tentang hal ini. Sekilas aku berpikir semua akan hancur berantakan karena apa yang aku gambar tak menunjukkan visi yang terbayang dalam pikiran. So terrible!

Peserta diinstruksikan untuk menggambar pohon dengan kriteria yang sudah ditentukan. Setelah itu menggambar manusia dan identitas dirinya (Draw A Person Test). Yang terakhir, menggambar objek bebas namun sudah ditentukan bagian gambarnya (Wartegg Test, serius ini bukan tes mencicipi makanan di warung Tegal).

Wartegg Test

Aku tertawa! Serius! Semua gambar yang kubuat persis sama ketika aku menggambar ketika duduk di lantai bangku TK. Tapi aku tetap optimis. Ini bukan tentang seni bagus atau tidaknya gambar, ini tentang bagaimana mengimplementasikan apa yang ada dalam diri, seperti menelanjangi diri.

Rangkaian tes selanjutnya adalah tes fisik. Itu menurut yang tertulis pada surat panggilan. Yang kupikirkan adalah lari 2,4 km, push up, sit up, melakukan hal-hal lain yang membuatku berkeringat. Lagi-lagi aku dibohongi salah.


Tes Fisik?!

 Tes ini hanya sekedar bagian dari medical check-up, malah lebih sederhana. Peserta hanya diminta melepas baju sepatu, menimbang berat badan, tes buta warna, mengukur tinggi badan dan tensi darah. Sesederhana itu?! Ekspektasiku terlalu tinggi berlebihan!

Rangkaian tes hari pertama berakhir. Awalnya aku pikir seluruh tes ini hanya sehari saja seperti dua tahun lalu. Tapi tidak! Sebagian peserta harus mengikuti tes selanjutnya di hari berikutnya, dan sebagian yang lain di hari setelah hari berikutnya. Buntung untung saja aku mendapat bagian tes di hari yang berurutan. Sehingga hal itu tidak begitu mengganggu kuliahku.  Hari itu aku akhiri dengan rasa syukur dan harapan.

(bersambung)

Thursday, April 18, 2013

Shocking Thursday?!

Kalau Anda tahu betapa besar Allah mengasihi Hamba-Nya, bahkan para makhluk-Nya yang tidak menghamba kepada-Nya, Allah melakukannya. Anda akan menyadari itu. Ketika setiap orang di sekeliling Anda berkata bukan teman Anda padahal teman Anda, bahkan tidak kenal Anda padahal kenal Anda, hanya Allah yang dapat menutupinya. Walau Anda tak melihat wujud-Nya, tak mendengar suara-Nya, tak mencium aroma-Nya, Anda pasti bisa merasakan keberadaan-Nya di sekitar Anda. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.

***

Hari ini hari Minggu Kamis. Aku merasa tidak bisa bangkit dari kubur kasur mengingat dompet yang semakin menebal, bukan karena uang yang bertambah, tetapi karena boros tiket nonton bioskop yang semakin bertambah. Aku sengaja menyimpan setiap tiket  – apapun itu – di tempat aman, agar suatu saat Aku bisa mengingat kembali kemana dan apa yang dilakukan di waktu yang lalu. Aku memang pikun tidak selalu mengingat apa yang tidak perlu diingat.

Tiba-tiba dering telepon berguncang bergetar di telinga. Layar memperlihatkan tiga huruf si penelepon, “Dad”. Abi menelepon sepagi ini? Aku berharap Abi tidak menelepon merasa was-was, cemas, dan sedikit kaget. Beliau orang yang sibuk. Sebagai seorang manajer rumah makan, Abi harus mengatur segala sesuatunya menjadi baik, dari memerintah pelayan sampai mencicipi masakan kokinya. Aku mengangkat telepon. Abi bertanya tentang nomor ujian masuk Program Sekolah Holcim. Katanya, sudah ada pengumuman para peserta yang lolos ke tahap selanjutnya.  Aku bilang saja, “C0070” dan Abi langsung menutup teleponnya.

Sebagai pengingat catatan, Aku sudah melaksanakan ujian masuk Program Sekolah Holcim sejak lulus SMA di tahun 2011. Pada tahun 2011, Aku gagal belum diizinkan di tes wawancara. Tahun lalu, Aku gagal lagi belum diizinkan masuk bahkan dari awal. Dan aku mengikutinya lagi tahun ini, sebagai tahun terakhir karena sudah tua batasan umur yang disyaratkan.

Tahun ini Aku melaksanakan tes akademik pada tanggal 24 Maret 2013. Lokasinya di SMKN 2 Cilacap yang selangkah lagi sampai di Objek Wisata Pantai Teluk Penyu kebanggaan masyarakat Cilacap. Aku merasa siap mengerjakan soal dengan keyakinan dan kepercayaan diri yang kuat. Aku menyudahinya dengan syukur dan rasa optimis.

Tak sampai lima menit, Abi kembali menelepon. Abi memberitahukan bahwa Aku masuk daftar 60 orang malas yang lolos ke tahap selanjutnya, yaitu Tes Wawancara. Aku merasa tidak percaya. Tak habisnya kuucapkan syukur kepada Allah sebagai penentu semua. Ummi mendengar ini dan langsung menelepon. Aku berterima kasih kepada mereka berdua. Itu cukup. Semuanya belum berakhir, baru permulaan, masih sangat awal.

Aku ingat Tes Wawancara yang Aku ikuti dua tahun lalu. Pada pagi hari para peserta dibawa berkeliling pabrik untuk diberikan penjelasan mengenai proses pembuatan semen dari bahan baku hingga pengepakan. Setelahnya, kami dibawa ke satu aula besar dan dipisahkan. Tiap peserta menuju bilik booth yang berbeda. Setiap booth terdapat satu instruktur yang telah mengantongi senjata soal tes yang berbeda.

Aku masih ingat ada enam booth di sana. Ada instruktur yang memutar video proses pembuatan anak semen. Ada yang menanyakan tentang proses yang telah diputar di video. Ada yang mewawancarai secara psikologis. Ada yang mewawancarai menggunakan Bahasa Inggris. Ada yang menyiapkan lembar soal-jawab untuk dibakar dikerjakan. Dan ada yang memberikan instruksi untuk membuat suatu model sesuai gambar menggunakan kawat. Para peserta melaksanakan semua instruksi tersebut dengan sungguh-sungguh. Yang paling akhir, para peserta yang berjumlah enam duduk melingkar untuk ngepet berdiskusi mengenai tema yang diberikan oleh instruktur.

Kami bertanya kenapa hanya kami berenam yang ada dalam tes tersebut. Awalnya kami besar kepala sangat senang, karena mungkin hanya kami yang akan masuk Program Sekolah Holcim. Akhirnya kami tahu bahwa ada enam orang-enam orang lainnya selama sepuluh hari yang melaksanakan tes serupa. Tanpa instruksi, bahu kami merosot.

Suatu kenangan yang tak terduga, mendapat musuh teman yang hanya bertemu sekitar lima jam dalam hidup dari berbagai daerah. Paling tidak satu dari lima teman masih berkomunikasi baik denganku hingga sekarang.

Kini mungkin tidak jauh berbeda. Aku harus mempersiapkan semuanya. Satu saja yang harus kuucapkan dalam Tes Wawancara itu adalah bahwa Aku gagal tidak gentar melakukan dua kali tes masuk Program Sekolah Holcim sebelumnya dan melaksanakannya lagi tahun ini. Itu membuktikan betapa pentingnya hal itu. Prinsip hidupku adalah tidak mempersulit membebani orang lain, terutama orang tuaku. Walaupun tak dipungkiri, hingga saat ini, Aku masih melakukannya. Dan aku pikir lewat jalan inilah hal itu dapat terwujud.

Mulia? Tentu iya tidak! Masih banyak orang lain, pemuda-pemudi lain yang memiliki doa yang lebih  gila mulia dariku, bahkan mereka telah sukses membuktikannya. Dan Aku akan terus antre dalam barisan itu. Hanya waktu kuasa Allah yang dapat membuktikan.

Tangerang, 18 April 2013
(setelah mengetahui aku lolos tes interview)